Pergumulanku Sebagai Seorang Wanita Lajang

Oleh J. Koon, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Singleness Taught Me About Love

Ketika sedang makan siang dengan seorang temanku suatu hari, kami mengobrol tentang sebuah topik yang favorit di antara wanita lajang: tentang hubungan.

Berbeda dengan yang digambarkan oleh banyak serial drama romantis dan film-film, kehidupan seorang wanita profesional yang lajang (terutama jika dia adalah seorang Kristen) jauh dari kata-kata romantis dan aktivitas sosial. Malahan seringkali mereka dipenuhi oleh kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang menjadi rencana Tuhan bagi kehidupan percintaan mereka—di samping fokus mereka untuk meraih kemajuan karir dan finansial.

Di antara para teman-temanku yang masih lajang, aku sering mendengar keluhan-keluhan seperti:

“Tidak ada lagi pria Kristen lajang yang tersisa.”

“Aku telah berdoa tapi Tuhan tampaknya tidak mendengarkan doa-doaku.”

“Aku telah bertahan dengan seorang pria Kristen yang sulit selama bertahun-tahun. Mungkin sekarang saatnya aku mempertimbangkan orang lain yang datang dalam hidupku, apapun kepercayaannya.”

Aku dapat mengerti mereka, karena tahun lalu aku juga mengalami putus dengan pacarku. Mudah bagi kami, para lajang, untuk menjadi putus asa dan bertanya-tanya apakah kami akan benar-benar menemukan seseorang. Keadaannya bahkan menjadi lebih sulit ketika kami melihat orang-orang di sekitar kami berpasangan, menikah, dan seiring waktu memiliki keluarga mereka sendiri.

Tulisan-tulisan di media sosial tentang kehidupan pernikahan atau keluarga teman-temanku juga tidak membuat pergumulanku menjadi lebih mudah. Mereka bahkan memicu perasaan panik dalam diriku karena mereka mengingatkan usiaku yang semakin bertambah. Dengan tidak adanya pasangan potensial yang dapat kami lihat, kami kadang bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan diri kami.

Mungkin karena pemikiran-pemikiran ini di antara para lajang sehingga rasul Paulus menuliskan dalam 1 Korintus 7:7-8: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku.”

Tidakkah menarik mengetahui bagaimana Paulus menggunakan kata “karunia” dan “baik” untuk menggambarkan mereka yang lajang? Paulus pasti tahu bagaimana rasanya menjadi seorang lajang, karena dia juga adalah seorang lajang! Tapi mengapa kita juga tidak berpikir seperti itu?

Mungkin kita telah membiarkan ekspektasi masyarakat mempengaruhi kita. Mungkin kita sedang membangun identitas kita tentang apa yang orang lain pikirkan tentang kita dan kita juga membiarkan nilai diri kita ditentukan oleh apakah kita memiliki pasangan yang mengasihi kita atau tidak. Jadi bagaimana kalau kita tidak memiliki semua hal itu? Apakah itu berarti kita kehilangan identitas dan nilai diri kita? Siapa atau apa yang menentukan nilai diri kita?

Ketika orang-orang bertanya tentang kehidupan percintaanku, aku seringkali tergoda untuk menjawab, “Kehidupan percintaan apa?” Tapi kenyataannya, aku juga mempunyai sebuah kisah cinta, aku punya sebuah kehidupan percintaan. Aku mengingatkan diriku bahwa kisah cinta terbesar bukanlah Romeo dan Juliet, atau Mark Antony dan Cleopatra, atau bahkan Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Kisah cinta terbesar adalah ketika Allah mengutus Yesus untuk datang ke dalam dunia untuk hidup di antara kita dan mengorbankan nyawa-Nya bagi kita di atas kayu salib. Kisah cinta terbesar terjadi ketika Allah menawarkan kita pengampunan akan dosa-dosa kita dan memberikan kita kehidupan yang baru sebagai anak-anak-Nya.

Mengingat identitasku sebagai seorang anak Allah yang berharga memberikan perspektif yang baru bagi kekhawatiran dan masalah-masalahku. Ketika aku depresi dan kesepian, pemikiran bahwa aku adalah anak Allah mengingatkanku akan identitasku di dalam Kristus. Aku dikuatkan oleh Roh Kudus yang memampukanku untuk bisa yakin dengan nilai diriku dan dalam rencana Tuhan yang sempurna dalam hidupku.

Aku masih berharap aku akan menikah suatu hari nanti. Tapi aku tahu bahkan jika itu tidak terjadi, Allah adalah seorang Bapa yang selalu mengasihiku dan tahu yang terbaik bagiku. Aku tidak perlu takut akan masa depanku.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment