Satu ketika pengalaman yang menyesakkan terjadi atas kedua anak pasangan Hendra Manalu dan Dewi yaitu si kembar Samuel dan Nathanael.
Yang pertama kali sakit saat itu adalah sang kakak, Samuel. Dua hari kemudian menyusul adiknya, Nathanael menderita sakit yang lebih parah dibanding kakaknya. Saya sangat bingung saat itu, bagaimana menangani hal ini?, keadaan keuangan yang tidak mendukung sementara kedua anak saya itu mengalami sakit yang berat.
Saat itu Samuel dan Nathanael terkena muntaber. Obat yang diberikan oleh dokter sudah habis namun mereka tidak kunjung sembuh. Keadaan Nathanael malah semakin memburuk, ia mengalami kejang di sekujur tubuhnya. Nathanael segera dilarikan ke rumah sakit Bhakti Yudha.
Ayah Nathanael, Hendra begitu cemas melihat keadaan ini.
Anak saya tidak sadarkan diri, step sedemikian rupa. Ia kemudian dimasukkan ke ruang emergensi untuk mendapat bantuan. Tapi sayangnya tiga hari dirawat disana anak saya ini tidak sadar juga.
Sementara itu di rumah keadaan Samuel juga semakin parah. Samuel juga harus segera dimasukkan ke rumah sakit. Dewi, ibunda Samuel dan Nathanael berencana memasukkan Samuel ke rumah sakit dimana adiknya saat itu juga tengah dirawat.
Saya bawa Samuel ke rumah sakit dimana adiknya dirawat, tapi semua tempat sudah penuh. Akhirnya Samuel dioper ke rumah sakit tempat saya bekerja dulu di rumah sakit Tugu Ibu. Perasaan saya saat itu sangat kacau, gelisah dan panik, campur aduk tidak menentu.
Pasangan Hendra dan Dewi berbagi tugas. Dewi menjaga Samuel di rumah sakit Tugu Ibu sementara Hendra menjaga Nathanael di rumah sakit Bhakti Yudha. Pada hari yang ketiga keadaan Nathanael menjadi sangat kritis. Vonis terakhir dokter adalah Nathanael terserang meningitis atau radang selaput otak yang sangat berbahaya.
Pada hari ketiga Nathanael seperti akan melepaskan nafas terakhirnya.
Saya ditelepon suami agar datang ke rumah sakit karena kelihatannya Nathanael ini akan ‘pergi’. Saya begitu kaget dan syok mendengar semua itu sampai-sampai suster di rumah sakit Tugu Ibu bertanya-tanya. Saat itu saya minta suster untuk menjagai anak saya yang lain, Samuel. Suster sempat menahan saya karena Samuel juga tentunya akan mencari-cari saya, ibunya. Saya sungguh bingung saat itu. Saya berdoa minta Tuhan memberikan jalan keluar, apa yang harus saya lakukan?.
Saat kekalutan menyelubungi hati Hendra, Tuhan berbicara dalam hatinya.
Tuhan ingatkan saya ditengah saya dirundung air mata dan pergumulan. Tuhan seolah-olah sedang bercakap-cakap dengan saya. Tuhan mengatakan jikalau saya menyerah maka Dia akan mengambil anak saya, namun jika saya menuntut hak saya maka Dia akan memberi kesempatan hidup bagi anak saya. Awalnya saya tidak begitu mengerti hal ini, tapi Tuhan memberi pengertian kepada saya. Tuhan mengatakan bahwa saya adalah hamba dan anakNya dan Tuhan sangat mengasihi saya. Jikalau saya menuntut hak sebagai ayah bagi Nathanael maka Tuhan akan memberikan kesempatan hidup bagi anak itu. Tapi jikalau saya melepaskannya maka Tuhan akan mengambil hidup Nathanael beserta semua penderitaan dan sakit penyakitnya.
Akhirnya saya katakan pada Tuhan bahwa Tuhan adalah Bapa bagi kehidupan saya. Tadinya saya sudah menyerah namun Tuhan tentunya mengerti kerinduan hati saya yang sesungguhnya. Saat itu air mata saya menetes di atas hidung anak saya, Nathanael. Dan ketika saya mengucapkan : “Di dalam Nama Yesus!” dan tiba-tiba saja anak saya bersin.
Nathanael kembali bernafas, namun keadaannnya masih tetap dalam status kritis. Ia perlu penanganan medis dengan peralatan kedokteran yang khusus dan lebih lengkap. Pukul 4 sore, Nathanael dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta Pusat yang memiliki fasilitas ICU yang lebih lengkap.
Tapi ketika perawat yang mendampingi saya ini turun untuk bertemu dengan pihak rumah sakit, mereka menolak masuknya anak saya. Saat saya turun dan meredakan, saya menangkap bahwa di mata mereka anak saya ini sudah tidak ada harapan. Lalu saya mencoba satu rumah sakit lagi di kawasan Mangga Besar. Saya tiba di sana sekitar jam setengah sembilan malam. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka memang mempunyai peralatan yang lengkap, namun saya harus mempunyai deposit uang minimal lima juta rupiah. Hal itu diperlukan karena mereka mengakui bahwa peralatan yang mereka miliki adalah sangat mahal. Jika tidak maka anak saya tidak akan bisa masuk ke rumah sakit itu.
Hendra sangat terkejut mendengar hal itu.
Jangankan uang lima juta, saat itu saya hanya mengantungi uang sebanyak lima ratus ribu rupiah. Saya sempat meminta kepada pihak rumah sakit untuk bisa mengijinkan anak saya ditangani, jika memang uang yang dibutuhkan sebegitu besarnya maka saya percaya keesokan harinya uang tersebut akan bisa saya penuhi. Namun pihak rumah sakit mengatakan bahwa ketentuan itu tidak dapat diubah, uang tersebut harus tersedia. Mendengar itu saya hanya bisa menangis dalam hati : “Kemana lagi saya dapat mencari pertolongan?!”.
Hendra lalu teringat sebuah rumah sakit di kawasan Cikini. Ia meminta supir untuk menuju ke rumah sakit tersebut.
Sayang sekali pada waktu itu fasilitas ICU rumah sakit ini penuh. Saya mengatakan dalam hati bahwa saya tidak boleh sembarangan berjalan lagi. Pihak paramedis dalam ambulans anak saya juga mengatakan bahwa anak saya harus segera ditolong oleh rumah sakit yang memiliki ICU. Saya menghubungi ke bagian informasi telepon dan operator menghubungkan dengan unit gawat darurat rumah sakit yang ada di Jakarta. Rumah sakit Carolus yang terdekat kebetulan penuh dan terakhir adalah rumah sakit Harapan Bunda yang ada di Pasar Rebo.
Langsung saya bicara dengan dokter jaga, ia mengatakan bahwa team mereka baru saja akan selesai melakukan operasi. Jika saya bisa datang ke sana secepatnya maka kemungkinan mereka akan dapat langsung menangani anak saya.
Ambulans langsung menuju rumah sakit Harapan Bunda di kawasan Pasar Rebo. Setelah delapan jam berada di ambulans dalam keadaan kritis, barulah Nathanael mendapatkan penanganan yang semestinya. Dokter saat itu meminta persetujuan Hendra untuk menggunakan obat yang keras untuk menyelamatkan nyawa anak ini. Sayangnya obat ini memiliki efek samping.
Kembali Hendra ada dalam pilihan, namun ia meneguhkan hatinya.
Efek samping yang mungkin dialami anak saya ialah kemungkinan ia menjadi buta, mungkin bisu, mungkin tuli, dan mungkin juga bisa lumpuh. Tapi saat itu saya menyalami dokter yang ada. Saya yakin bahwa sampai sejauh ini semua yang terjadi adalah karena pertolongan Tuhan yang ajaib. Saya percaya bahwa pertolongan Tuhan tidak pernah setengah-setengah. Saya yakin team dokter yang ada akan dibuat Tuhan menjadi malaikat penyelamat bagi anak saya. Saya katakan bahwa saya hanya minta nyawa anak saya. Saya percaya Tuhan akan menyembuhkan dia
Tuhan mendengar doa, Tuhan menjamah Nathanael.
Saat ini Nathanael telah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Serangan meningitis nyaris tidak meninggalkan bekas kecuali pada tangan kanannya yang agak lemah.
Tuhan Yesus sangat manis. Saat saya memikul beban yang berat, saat kita memikul kuk, Tuhan katakan bahwa Dia memberikan kelegaan. Memang ada beban, namun kita bisa menikmatinya dalam kelegaan.
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya. (1 Korintus 10:13)
Sumber Kesaksian: jawaban.com