5 Tanda Kita Terlalu Sibuk dengan Diri Sendiri

Penulis: Alwin Thomas, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Signs that We are Preoccupied with Ourselves

Mari bicara jujur: Kita semua punya kecenderungan menjadi orang narsis. Tidak ada yang terkecuali. 5 indikator yang aku tuliskan di bawah ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapa pun. Harapanku, tulisan ini bermanfaat untuk menolong kita mengenali kecenderungan kita untuk sibuk dengan diri sendiri dan menghentikannya sebelum terlambat.

1. Aku Membaca Artikel Ini
Ya, benar. Jika kamu sedang membaca artikel ini, mungkin kamu adalah orang yang memiliki kecenderungan berpusat pada diri sendiri dalam level tertentu. Kamu ingin tahu apakah kamu terlalu terobsesi dan sibuk dengan diri sendiri. Keingintahuan ini bukan sesuatu yang buruk. Yang menjadi masalah adalah ketika kita hanya peduli dengan kepentingan kita semata, terkadang bahkan dengan mengorbankan oang lain.

Daripada memelihara keegoisan diri (self-absorption), menurut para ahli psikologi akan lebih bermanfaat bila kita memiliki kesadaran diri (self-awareness)—memahami motivasi dan keinginan yang membentuk kebiasaan dan perilaku kita. Keegoisan diri membuat kita selalu merasa tidak puas, sedangkan kesadaran diri membuat kita menjadi orang yang mampu mengoreksi diri, mendorong kita untuk mengubah sikap-sikap kita yang negatif dan menjalani hidup yang lebih baik, lebih bermanfaat. Kesadaran diri tidak hanya menguntungkan kita, tetapi juga orang-orang di sekitar kita.

2. Aku Sering Sekali Mengkritik Orang Lain
Saling menasihati dan mendorong dalam hubungan dengan sesama itu alkitabiah, apalagi dengan orang-orang dekat kita. 1 Tesalonika 5:11 berkata, “nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.”

Namun, pernahkah kamu merasa sangat perlu mengoreksi seseorang hingga kamu merasa frustrasi sendiri? Pertama, karena kamu tidak dapat menyampaikan hal itu kepada yang bersangkutan; kedua, karena mereka tidak mendengarkan atau tampaknya tidak bisa memahami maksudmu. Jika jawabanmu adalah “Ya” untuk salah satu alasan tersebut, kemungkinan kamu sedang menerapkan beberapa standar yang tidak realistis, bagi dirimu sendiri dan bagi orang-orang di sekitarmu. Jika kamu terus-menerus merasa frustasi dengan orang lain, atau menyadari bahwa teman-temanmu mulai malas berurusan denganmu, kamu perlu mulai mengintrospeksi diri.

Aku sendiri pernah merasa selalu tidak puas dengan semua orang yang aku kenal. Sebanyak apa pun waktu, perhatian, atau kasih sayang yang ditunjukkan teman-temanku, aku selalu menemukan cara untuk membuat mereka merasa bersalah, membuat mereka merasa diri mereka egois dan kurang memperhatikan aku.

Apa yang harus kita lakukan? Kita perlu mengingat bahwa semua kita ada dalam proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik, proses yang kita sebut sebagai “pengudusan”. Yesus sendiri menunjukkan kesabaran dan kasih yang besar bagi orang-orang yang dikritik atau dibenci oleh komunitasnya, seperti para pemungut cukai dan para pelacur. Dia tidak membenarkan perilaku mereka, tetapi Dia mengoreksi mereka dengan lemah lembut serta memberi mereka ruang dan waktu untuk memperbaiki diri.

Seperti Yesus, kita dapat belajar bersabar dan mengampuni, tidak hanya saat teman-teman kita melakukan hal-hal yang bodoh, tetapi juga saat kita menjalani proses transformasi dari dalam diri kita. Alkitab berkata, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari” (2 Korintus 4:16).

3. Aku Selalu Gelisah untuk Memperbaiki Diri
Adakah sifat atau karakter yang tidak kamu sukai dalam dirimu, namun meski kamu sudah berusaha keras “memperbaiki” diri, kamu selalu saja kembali pada kebiasaan yang sama? Misalnya saja, kamu berusaha untuk menjadi lebih disiplin, tetapi kamu masih saja suka menunda dan memboroskan waktu.

Kita mungkin membuat sebuah resolusi untuk mengubah kehidupan kita, dan melihat segala sesuatu menjadi lebih baik untuk beberapa waktu. Namun, dalam hitungan minggu atau bulan, kebiasaan lama kita muncul kembali sehingga kita akhirnya menjadi kecewa, marah, dan jengkel dengan diri kita sendiri.

Mungkinkah penyebabnya adalah kita terlalu berfokus pada diri sendiri dan berusaha melakukan segala sesuatu dengan kekuatan kita sendiri? Kita selalu merasa kacau balau karena kita tidak berserah, kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Allah jauh lebih besar daripada masalah-masalah kita, dan kita tidak benar-benar percaya bahwa Dia mau menolong kita.

Kita berusaha mengubah diri kita dengan kekuatan sendiri—tidak heran bila kita selalu gagal! Mari mempercayai Tuhan dan menyerahkan kendali hidup kita kepada-Nya.


4. Aku Merasa Selalu Bicara Sendiri

Pernahkah kamu berhenti sejenak dalam sebuah percakapan dan tiba-tiba menyadari bahwa kamu adalah satu-satunya orang yang berbicara? Mungkin itu karena kamu tidak pernah berhenti bicara sejak awal! Hubungan dengan sesama seharusnya adalah komunikasi dua arah.

Jika kita secara sengaja mengalihkan perhatian dari diri sendiri dan berusaha untuk mendengarkan orang lain, kita akan belajar untuk mempedulikan kepentingan sesama. Kita akan belajar dari pengalaman-pengalaman orang lain dan menghindari kesalahan yang sama dalam perjalanan hidup kita sendiri. Sebuah peribahasa Turki berkata dengan bijak, “Jika bicara itu perak, mendengarkan itu emas”. Sekalipun kamu sudah bersahabat dengan banyak orang untuk waktu yang lama, mungkinkah kamu sebenarnya tidak begitu mengenal kehidupan mereka dan apa saja yang mereka sukai?

Adakalanya hal yang sama juga terjadi dalam hubungan kita dengan Allah. Kita menghabiskan banyak waktu untuk bicara, menyampaikan doa, kebutuhan, dan semua keprihatinan kita kepada Allah. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak untuk benar-benar mendengarkan apa yang ingin Allah sampaikan kepada kita?


5. Aku Merasa Takut Menjalin Hubungan yang Sebenarnya

Selama bertahun-tahun, aku bergumul untuk bisa memperhatikan sesama dengan tulus dan sungguh-sungguh. Dalam hubunganku dengan orang-orang di sekitarku, termasuk mereka yang kukasihi, aku selalu memikirkan bagaimana agar apa yang aku lakukan tidak bertepuk sebelah tangan. Bagaimana aku bisa melayani orang lain agar orang itu selalu setia kepadaku? Apa yang bisa aku belikan untuknya agar ia lebih mencintaiku? Bahkan: Apa yang dapat aku lakukan bagi Tuhan supaya Dia tidak akan pernah meninggalkan atau membiarkan aku?

Pada akhirnya, aku menjadi kecewa ketika orang-orang tidak memberi tanggapan yang aku inginkan. Untuk waktu yang lama aku tidak bisa melihat jalan keluar—hingga akhirnya aku menyadari bahwa pertama-tama aku harus mengerti lebih dahulu apa artinya menjalin sebuah hubungan. Dan, pelajaran itu datang dari hubungan yang utama dan yang terpenting dalam hidupku: Hubunganku dengan Tuhan.

Hal pertama yang aku pelajari adalah bahwa kasih Tuhan bagi kita itu tidak bersyarat. Tuhan mengasihi kita bahkan sebelum kita dilahirkan. Sekalipun kita seringkali menjauh dari Tuhan dan memberontak melawan Dia, Dia tidak pernah berhenti mengasihi kita sebagaimana adanya kita. Ketika aku memahami hal ini, aku mulai belajar untuk mengasihi orang lain—sebagaimana adanya mereka. Fokusnya bukan apa yang bisa mereka lakukan untukku, atau apa yang akan terjadi bila mereka meninggalkan aku, tetapi bagaimana Tuhan menginginkan aku untuk mengasihi orang-orang yang Dia kasihi, tanpa syarat, dan tanpa mementingkan diri sendiri. Hubungan kita dengan sesama bukanlah hubungan yang transaksional.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Apakah kamu juga terlalu sibuk dengan diri sendiri? Menurutmu, bagaimana cara mengatasi masalah ini?

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment