Berpacu Melawan Kuda

Penulis: Jeffrey Siauw

Pendeta Eugene Peterson pernah menulis sebuah buku yang sangat menginspirasi saya, berjudul Run with the Horses, yang mengupas berbagai pelajaran dari kehidupan nabi Yeremia.

Sejak membaca buku itu, beberapa kali saya pernah merenungkan dan membagikan ayat berikut:

“Jika engkau telah berlari dengan orang berjalan kaki, dan engkau telah dilelahkan, bagaimanakah engkau hendak berpacu melawan kuda? Dan jika di negeri yang damai engkau tidak merasa tenteram, apakah yang akan engkau perbuat di hutan belukar sungai Yordan?” (Yeremia 12:5)

Ayat ini bahkan menghiasi dinding ruang kerja saya di perpustakaan.

Pesannya sederhana. Hidupmu yang sekarang mungkin hanya seperti berlari dengan orang berjalan kaki. Kalau begini saja engkau telah lelah, bagaimana engkau hendak berpacu melawan kuda? Apa yang kau hadapi sekarang mungkin bisa dibandingkan seperti “hidup di negeri yang damai”. Kalau begini saja engkau sudah tidak merasa tenteram, lalu apa yang akan engkau perbuat jika hidup di hutan belukar?

Ini adalah tanggapan Tuhan terhadap keluhan nabi Yeremia. Tanggapan yang juga relevan untuk keluhan-keluhan saya. Seolah-olah saya mendengar: “baru segini kesulitan yang engkau hadapi”, “baru segini pencobaan yang kau alami”, “baru segini tantanganmu melawan dosa”, “baru segini sakit yang harus kau tanggung”, “baru segini….” Tetapi nadanya mendorong dan bukan mengejek.

Hidup ini sulit. Betul. Hidup ini seperti berada di hutan belukar! Hidup ini seperti berpacu melawan kuda!

Tetapi, apakah kemudian kita mau menyerah? Kita punya beberapa pilihan:

Pertama, hidup dengan buruk. Artinya kita tidak lagi mau berjalan apalagi berlari melawan kehidupan. Kita menyerah. Kita ikut arus saja. Kita sia-siakan hidup kita dengan menyerah kepada berbagai macam hawa nafsu.

Kedua, hidup “ala kadar”nya. Artinya tidak usah terlalu susah-susah dan berjuang mati-matian. Nikmati saja hidup. Berjalan seperlunya tapi tidak usah berlari. Ke gereja, ya boleh. Hidup suci, ya sebisanya. Melayani, ya selama saya mau. Semua “ala kadar”nya saja.

Ketiga, hidup sebaik-baiknya. Memberi usaha terbaik yang kita bisa, sebagaimana yang diinginkan Tuhan. Berapa pun harganya. Berapa pun sulitnya. Tetapi, ini sama sekali tidak mudah, karena itu berarti kita siap hidup “di hutan belukar” dan “berpacu melawan kuda”.

Saya memilih yang ketiga. Walaupun seringkali saya juga sudah lelah dan merasa tidak tenteram… saya tetap mau memilih yang ketiga dan itu berarti juga mau untuk “berpacu melawan kuda”.

Bila kita mau menjalani kehidupan yang terbaik, bukan sekadar kehidupan yang mudah, kita tidak akan membiarkan hambatan-hambatan yang ada dalam hidup ini menghentikan langkah kita. Dalam anugerah Tuhan, mari terus melangkah maju, bahkan siap “berpacu melawan kuda”!

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment