Jangan Berusaha Jadi “Orang Baik”!

Oleh: Julham Effendi

Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang melalui chat BBM dengan seorang teman yang sudah lama tidak datang dalam persekutuan. Awalnya saya hanya iseng komentar dengan status BBM nya.

Emang ga enak ya kalau setan kayak gua tinggal di rumah malaikat”.

Setannya yang mana nih? Hehe…” Saya mengawali pembicaraan dengan sebuah pertanyaan sederhana. Tidak lama kemudian ia membalas dan menceritakan mengenai situasi yang dialaminya selama ini. Ternyata, ia menyimpan banyak kepahitan. Ia merasa tidak ada orang yang mau menjadi temannya. Ia merasa sering tidak dihargai, bahkan selalu direndahkan oleh orangtuanya.

“Aku bingung, padahal aku selalu berusaha menjadi anak Tuhan yang baik di mata keluarga dan orang lain. Tapi, benar-benar berat menjadi orang baik. Berusaha menjadi anak yang baik, tidak durhaka pada orang tua dan konsisten dalam kerohanian,” keluhnya.

Pergumulan khas banyak anak muda. Pernah merasakan hal tersebut? Apa yang harus saya katakan? Saya terus berdoa supaya Tuhan menuntun untuk menjawab dalam keterbatasan komunikasi yang hanya melalui chat BBM, agar seluruh pembicaraan kami dapat membawa teman saya ini kepada Tuhan Yesus.

Bersyukur Tuhan mengingatkan saya sebuah ayat Alkitab: Pengkhotbah 1:14, “Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” Mengejar pengakuan orang lain tak akan ada habisnya. Tuhan tidak memanggil kita untuk mengejar usaha yang sia-sia semacam itu.

Saya pun berkata, “Jangan berusaha menjadi baik di mata orang lain bahkan orang tua sendiri. Karena semuanya itu akan melelahkan kita. Baik atau jahat sangat subjektif jika memakai standar manusia. Bisa saja, saya mengatakan seseorang baik tetapi akan berbeda jika kamu yang melihatnya. Semuanya itu hanya usaha yang sia-sia dan menjaring angin. Berusahalah mengejar hikmat Tuhan, pengenalan akan Firman Tuhan dan berubahlah menurut standar Firman Tuhan itu.

Semuanya nanti membutuhkan proses saat menjalaninya,” saya mengingatkan. “Kita pasti akan jatuh bangun dalam melakukan apa yang Tuhan mau. Kalau ditanya prosesnya berapa lama? Seumur hidup! Tetapi ketika kita berhasil mengakhirinya dengan terus bersandar pada Tuhan, sebuah mahkota kekal tersedia bagi kita.” tulisku menutup perbincangan kami, berharap dapat memberinya semangat baru. Ia pun mengucapkan terima kasih.

Entah kenapa, saya merasa sangat senang dan bersyukur Tuhan memakai saya hari itu untuk menolong saudara seiman. Saat menulis artikel ini, saya masih tidak percaya kalau saya mampu berkata-kata seperti itu. Membaca kembali histori chat kami, saya merasakan ikut dikuatkan.

Ya, bila fokus kita hanya berusaha menjadi “baik” di mata orang lain, kita akan cepat kecewa ketika orang tidak mengakui dan menghargai usaha kita. Jelas tak mungkin kita memuaskan semua orang karena standar “baik” manusia beragam dan subjektif. Namun, ketika kita mengarahkan fokus kepada Tuhan yang Mahabesar, beban kita pun menjadi ringan. Kita dipanggil untuk mencintai dan menaati Firman-Nya. Serahkan hasilnya kepada Tuhan. Diakui orang atau tidak, bukanlah masalah. Yang penting adalah penilaian Tuhan yang Mahatahu. Jangan habiskan waktu dan energi untuk merasa sakit hati dengan sikap orang yang kurang menghargai kita. Lebih baik belajar untuk makin serupa Kristus dalam tiap situasi yang Dia izinkan kita alami. Mari fokus untuk terus menaati Tuhan hingga kita tiba di garis akhir kehidupan. Kita akan menerima mahkota kebenaran yang dijanjikan Tuhan saat bertemu dengan-Nya kelak.

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik,
aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran
yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil pada hari-Nya;
tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang
yang merindukan kedatangannya.”
2 Timotius 4:7-8

Sumber: warungsatekamu.org

Leave a Comment