Karena Cinta-Nya, Tuhan Menjawab “Ya” dan “Tidak” Atas Doa Kita

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Mengimani sesuatu dengan sungguh-sungguh tidak lantas membuat apa yang diimani itu menjadi benar. Hal ini jugalah yang terjadi ketika kita berdoa. Kita tahu berdoa adalah kebutuhan setiap orang percaya. Kita yang percaya pada Yesus Kristus “dituntut” oleh-Nya untuk berdoa.

Bisa dikatakan fondasi hidup kita sebagai orang Kristen dalam menghadapi tantangan adalah berdoa. Kupikir ini bukanlah rahasia bagi kita. Kalau pun rahasia, ini rahasia yang sudah lama bocor. Mungkin kita adalah orang yang selalu mengawali atau menutup hari dengan doa. Atau, mungkin pula kita merupakan bagian dari kelompok doa. Kita berdoa dengan yakin. Kita berdoa dengan iman. Namun, kita merasa doa itu tidak ada dampaknya.

Aku sering berbincang tentang doa dengan beberapa orang yang wajah dan nada bicaranya memancarkan kepedihan hati. Mereka kecewa dengan doa. Salah satu orang yang sangat dekat denganku mengatakan hal yang mengejutkanku, “Aku tidak akan lagi berdoa karena doa hanya menipu perasaan manusia.”

Aku tahu latar belakang keluarganya, sehingga tak mungkin aku tidak bersimpati. Aku memahami perasaannya. Dia bekerja mencari nafkah sedemikian keras, meninggalkan istri dan anaknya, menahan dingin dan lapar di daerah pertambangan emas yang bahkan membahayakan nyawanya, dan menyerahkan semua itu dalam doanya kepada Tuhan.

Namun, dia tidak mendapatkan hasil apa pun. Malahan, setelah bertahun-tahun berjuang dan tanpa hasil, dia kembali ke rumah dan mendapati keluarganya telah berantakan akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan. Istrinya pun sakit dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa menahan tangis saat memandang ia berbicara dengan suara terbata-bata karena menahan air mata.

Selama ini aku mengenalnya sebagai seorang pria yang tegas dan kuat, setidaknya sebelum momen itu muncul. Mendengarkan jeritan hati dari kasus-kasus semacam itu benar-benar dapat meruntuhkan hati pendengar yang lebih keras dari tembok Yerikho sekalipun. Dan, siapa lagi yang dapat kita andalkan selain Allah sendiri?

Tentu saja kita tahu persis Allah tidak pernah membohongi kita. Dia mengirimkan bagi kita Alkitab yang bisa dipercaya. Yesus memberikan pesan yang sangat sederhana namun kuat ketika Dia berkata: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Matius 7:7).

Ada tiga bagian yang harus kita cermati dari perkataan Yesus ini: minta, cari, ketok.

  • Yang pertama: “mintalah”

Meminta berarti kita menempatkan diri kita sebagai pihak yang rendah dan membutuhkan. Kita pasti tidak membusungkan dada pada saat kita meminta atau memohon sesuatu dari orang lain.

Selain itu, kita pun tentu tidak akan meminta sesuatu pada seseorang yang kita tahu persis tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan kita. Contohnya, aku tidak akan minta uang sejumlah 500 milyar pada ibuku karena aku tahu jumlah tabungannya. Tetapi, jika ada penjual cilok di tanggal tua yang lewat di depan rumah kami dan aku meminta ibuku membelikannya bagiku seharga 5 ribu, aku yakin dia sanggup. Dengan demikian, aku melihat inilah cara Tuhan Yesus mengajarkan kita supaya kita merendahkan diri di hadapan Allah dan menaruh penuh kepercayaan kepada-Nya. Kita diajar untuk percaya bahwa Allah pemilik dunia ini bisa diandalkan.

  • Yang kedua: “carilah”

Allah tidak melemparkan uang dari langit. Bukan karena Dia tidak sanggup, tetapi karena Dia mau manusia berusaha dan bekerja. Yesus adalah Allah yang bertindak dengan turun ke bumi memberikan teladan supaya kita mengikuti cara-Nya. Allah tahu, memenuhi kebutuhan manusia yang tahunya hanya meminta akan mencelakakannya. Manusia akan jadi pemalas dan bermental kerupuk. Kasih sayang Allah yang besar itu membuat-Nya melatih anak-anak-Nya supaya mau bertindak aktif sebagai pemberani.

  • Yang ketiga: “ketoklah”

Setelah poin pertama dan kedua, Yesus kemudian berkata “ketoklah”. Dapat dipastikan kita semua pernah bertamu ke rumah orang lain dan tentunya kita tidak akan masuk secara diam-diam. Kita mengetok pintu, kecuali mungkin kita punya tujuan lain. Pada saat mengetok, kita menunggu. Jika belum ada jawaban, kita mengetok lagi, bukan? Kita mengetoknya berkali-kali, mungkin dengan semangat yang berlipat-lipat.

Aku yakin, di sini Yesus sedang mengajar kita untuk bertekun. Bertekun dalam apa? Bertekun dalam dua langkah sebelumnya: berdoa dan bekerja. Paulus juga mengingatkan kita untuk hal yang sama ketika dia meminta jemaat Roma untuk bertekun dalam doa (Roma 12:12).

Lantas, dengan mengikuti pola dalam ayat ini, apakah doa kita, setiap orang percaya, pasti dijawab oleh Tuhan? Meskipun penjelasannya terdengar sedikit filosofis, kita harus merenungkan satu hal penting bahwa “Allah tidak pernah tidak menjawab doa orang percaya”. Artinya, Dia selalu menjawab doa kita. Benarkah? Mungkin banyak dari kita akn berdiri dari tempat duduk kita dan menginterupsi, “lalu mengapa, apa yang salah dengan doaku? (padahal 3 langkah tadi telah aku lakukan). Mengapa Allah tidak menjawabnya?”

Sekali lagi, aku katakan bahwa Allah terus menjawab doa kita. Persoalannya adalah, apakah kita mendengar suara-Nya atau tidak? Persoalannya adalah apakah kita menerima jawaban-Nya atau tidak. Karena sering sekali Allah telah menjawab “Tidak” kepada doa kita, tapi kita menuduh Allah tidak menjawab karena kita ngotot bukan jawaban “tidak” yang kita inginkan. Yang kita inginkan adalah jawaban “Iya!” dari Allah. Ketika kita meminta sesuatu, bahkan yang berpotensi mencelakakan kita, Allah berkata “Tidak, anak-Ku”. Allah sudah menjawab, bukan? Kitalah yang tak mau dengan jawaban-Nya.

Menjawab dengan dan karena cinta

Masih pada pasal yang sama, pada ayat 9 dan 10, Yesus membawa sebuah gambaran yang amat menarik dan cukup “merakyat”. Adakah orang tua yang memberi batu kepada anak yang meminta roti? Ini pertanyaan retoris. Tidak perlu jawaban. Seandainya aku dipaksa menjawab, aku akan berteriak “tidak” sebanyak tujuh kali. Seakan sangat mudah untuk dipahami, sebenarnya perkataan ini juga sangat mudah diselewengkan.

Berdasarkan ayat ini, banyak dari kita yang membangun dasar berpikir kita menjadi seperti ini: “Jika aku minta roti kepada Allah, maka Dia akan memberi roti.” Padahal, ayatnya tidak berkata begitu. Yesus tidak berkata bahwa kalau minta roti pasti diberi roti. Perhatikan kembali ayatnya. Yesus berkata bahwa kalau minta roti, tidak mungkin diberi batu. Artinya, Allah akan memberikan yang terbaik kepada kita. Karena seringkali apa yang kita sangka roti, ternyata adalah batu. Yang kita pikir madu, ternyata adalah racun. Itu terjadi karena kita seperti anak kecil yang tergila-gila akan keinginan kita.

Jika ada anak kecil berusia 3 tahun meminta pisau untuk bermain, apakah kita yang menyayanginya akan memberinya? Bayangkan jika anak itu menangis dan mulai membenci kita, apakah kita akan berubah pikiran dan memberinya pisau itu? Tetap tidak! Mengapa? Karena kita menyayanginya. Itulah risiko yang Allah ambil. Dia dibenci karena ketidakpahaman kita pada karakter-Nya yang kudus dan keputusan-Nya yang benar. Ada banyak hal yang tidak diberikan Allah karena sayang-Nya pada kita. Ketika Allah memberi, Dia memberi dengan cinta. Ketika Allah tidak memberi, itu pun karena cinta. Itu sebabnya, jika aku harus memberikan sebuah definisi pendek, maka aku akan mengatakan bahwa doa adalah “menyatakan ucapan syukur dan kerinduan/keinginan hati kita kepada Allah, meminta-Nya mengoreksi keinginan kita jika keinginan itu salah, meminta-Nya memberi pengertian dan kekuatan akan keputusan-Nya”.

Itu sebabnya, ketika permohonan Paulus tidak dikabulkan saat dia berseru kepada Allah agar duri dalam dagingnya disingkirkan, Paulus tidak menjadi kecewa (2 Korintus 12:7). Karena Paulus mengerti bahwa ketika Allah menjawab tidak, Allah mungkin tidak memberi roti yang dimintanya, namun Allah pasti memberi sesuatu yang jauh lebih baik dari roti itu.

Tahun berlalu dan aku mulai memahami bahwa doa itu bukan sekadar tempat kita berbicara, tetapi juga Allah berbicara. Dia membentuk kepribadian kita dengan jawaban “iya” dan “tidak” terhadap doa kita, sama seperti seorang bapa kepada anaknya.

Keyakinan kita bukan terletak pada apa yang kita minta, melainkan kepada Dia yang kita mintai adalah Allah yang baik, dan lebih dari semua itu, Dia Allah yang benar.

Tuhan Yesus memberkati.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment