Nenek Brand: Semangatnya masih hidup

Matius 7.12 Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka

Dalam kunjungan saya yang terakhir ke India bersama Paul Brand, pada tahun 1990, ia menunjukkan kepada saya rumah masa kecilnya di Kolli Malai Mountains. Jip kami menelusuri sebuah jalan raya yang sangat bagus. Sebuah sepeda motor berpapasan dengan kenderaan kami, seorang wanita membonceng dengan mendekap punggung pengemudinya, dan kain sarinya melambai-lambai seperti bendera. Lekuk-lekuk jepit rambutnya menggugah memori  Brand. Ia menceritakan, “Dulu belum ada jalan raya. Ketika masih kecil, saya didudukkan di sebuah benda aneh terbuat dari kain kanvas yang digantungkan di bahu pengangkut barang dengan mengaitkan pada dua buah bambu. Ketika sudah cukup besar untuk berjalan, saya berjalan terhuyung-huyung, dan pandangan mata saya hanya setinggi betis pengangkut barang. Saya menyaksikan lintah-lintah yang kecil bentuknya meloncat dari semak-semak dan menempel di betis-betis itu kemudian menggembung oleh karena darah yang diisapnya.”

Dalam perjalanan tersebut, bagaimanapun juga, kami lebih mencemaskan radiator yang bisa menjadi terlalu panas ketimbang lintah. Akhirnya kami tiba di jalan yang rata dan berbelok melintasi sebuah dataran tinggi yang memberi kami sejumlah pemandangan yang sangat luar biasa, yaitu hamparan tanaman padi yang menghijau dan garis-garis lengkung yang pucat di cakrawala yang menandai adanya perbukitan di kejauhan. Kemudian aspal tidak tampak lagi dan jalan menurun memasuki sebuah desa kecil. Batu kerikil mengakibatkan debu, kemudian dua garis bekas ban kendaraan sepanjang barisan pohon-pohon eucalyptus. Kami mengikuti garis-garis bekas ban itu selama setengah jam tanpa meihat satu orang pun, dan saya mulai bertanya-tanya apakah kami telah tersesat.

Tiba-tiba jip sudah tiba di puncak sebuah bukit kecil dan sebuh pemandangan yang menakjubkan menyambut kedatangan kami. Seratus lima orang berdiri menantikan kami di pinggir jalan, dan mereka telah menanti kami selama empat jam. Mereka mengelilingi mobil kami, menyapa kami dengan gaya tradisional India, kedua telapak tangan dirapatkan dan kepala dianggukkan. Perempuan-perempuan dengan sari mereka yang berwarna cerah, yang terlihat berwarna-warni seperti burung-burung tropis, mengalungkan rangkaian bunga ke leher kami dan memandu kami ke tempat hidangan yang dihamparkan di atas daun-daun pisang. Seusai menyantap hidangan, setiap orang menuju kapel berdinding tanah yang didirikan oleh ayah Paul Brand dan kami disuguhi acara selama satu jam berupa nyanyian, pidato penghormatan, dan tari-tarian.

Secara khusus saya ingat pidato yang diucapkan oleh seorang wanita mengenai apa yang telah dilakukan oleh ibu Paul, Granny Evie Brand. Ia mengatakan, “Penduduk di wilayah perbukitan ini tidak melakukan aborsi. Mereka meninggalkan anak-anak yang tidak mereka inginkan di tepi jalan. Nenek Brand (ibu Paul) memungut anak-anak ini, merawatnya sampai sehat, mengasuhnya, dan berusaha mendidiknya. Saya adalah salah seorang anak yang tidak diinginkan, yang dibiarkan mati begitu saja. Jumlah kami ada puluhan, namun Nenek Brand memperlakukan kami seperti anak-anaknya bukannya seperti di panti asuhan. Kami menjuluki Nenek Brand sebagai Ibu Bukit. Keberhasilan saya di sekolah mendorongnya untuk membiayai saya belajar di sebuah sekolah yang baik, dan akhirnya saya meraih gelar sarjana. Sekarang saya mengajar ilmu perawatan di University of Madras, dan saya hari ini datang dari satu tempat yang ratusan mil jauhnya untuk menghormati keluarga Brand atas jasa-jasa mereka bagi saya dan banyak orang lain.”

Setelah mengucapkan kata sambutan singkat dan menghapus air matanya, Dr Brand mengajak saya ke luar ruangan untuk menyaksikan peninggalan yang diwariskan oleh orang tuanya. Ia menunjuk rumah kayu buatan tangan ayahnya, di mana tiang-tiang penyangga jembatan kecilnya diberi suatu wadah untuk melindunginya dari serangan rayap. Sebuah klinik yang berfungsi sekaligus sebagai sebuah sekolah – orangtuanya telah membangun sembilan buah sekolah di daerah perbukitan tersebut-dan sebuah toko yang menjual peralatan kayu. Sebuah kebun jeruk membentang di kawasan perbukitan itu, salah satu proyek pertanian Nenek Brand. Suaminya Jesse, telah mendirikan enam petak kebun untuk pohon mulberry, pisang, tebu, kopi dan singkong. Beberapa kali Paul mengomentari betapa tingginya pohon-pohon jacaranda yang ditanam oleh ayahnya tujuh dasawarsa sebelumnya itu. Bunga-bunganya yang berwarna ungu pucat jatuh berserakan di tanah seperti karpet. Ketika tiba saatnya untuk meninggalkan tempat itu, ia mengajak saya ke suatu tempat dimana kedua orang tuanya dimakamkan, di suatu lereng yang  letaknya di bawah pondok di mana ia dibesarkan. Ia mengatakan, “Tubuh mereka memang berbaring di sini, tetapi semangat mereka tetap hidup. Coba tengok ke sekeliling Anda.”

(Dr. Paul Brand adalah putra Jesse dan Evie Brand (Nenek Brand), misionaris yang meninggalkan kenyamanan hidup di Inggris untuk melayani di Pergunungan Kolli di India)

 

 

 

 

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.

Sumber: cahayapengharapan.org

Leave a Comment