Pengalaman Misi di Vanuatu

Saya pertama kali mendengar tentang Vanuatu pada pertengahan tahun 1980an.  Waktu itu saya diminta untuk membantu membuang sampah ke tempat pembuangan sampah.  Di antara tumpukan sampah yang hendak dibuang saya menemukan satu kardus berisi buku-buku lama.  Entah mengapa ada suara dari dalam hati yang berkata, “Jangan membuangnya”.  Lalu saya membawanya pulang dan menyimpannya di gudang.  Sesudahnya saya lupa dengan buku-buku itu.  Pada suatu malam di musim dingin, saya menemukan kembali buku-buku tersebut dan memutuskan untuk membakarnya di tempat perapian. Untunglah ketika itu, Abby, istri saya, menghentikan saya, “Jangan!  Itu buku-buku lama, jangan dibakar.” Kami menyimpan beberapa dari buku-buku itu dan segera membacanya. Buku yang saya baca adalah tentang misionaris John G. Paton yang ditulis pada tahun 1891.

Saya begitu terkesan membaca kisah hidup Paton.  Ia memiliki keberanian, komitmen dan semangat yang hebat, dan sangat berdedikasi kepada panggilannya.  Ia ditempatkan di pulau Tanna di kepulauan Vanuatu yang sepenuhnya ditempati oleh kaum kanibal.  Nyawanya senantiasa terancam bahaya karena adanya banyak usaha untuk membunuhnya.  Walaupun kesulitan yang dihadapinya hampir tak tertahankan, ia memilih untuk melanjutkan misinya di Tanna.  Setelah membaca kisahnya beberapa kali dalam jangka waktu beberapa tahun, saya memimpikan jika suatu hari kelak saya bisa pergi ke Vanuatu.

Memang sangat sulit untuk dipercaya, tetapi akhirnya pada bulan Juni tahun 2001, saya tiba ke kepulauan Vanuatu.  Mimpi saya sudah menjadi kenyataan. Destinasi pertama adalah Pelabuhan Resolution, lokasi misi Paton yang pertama.  Dari buku itu saya tahu bahwa istri dan anaknya meninggal di tahun pertama kedatangan Paton ke pulau itu, dan saya ingin berziarah ke pusara mereka.  Setibanya di sana saya agak kecewa karena pemandu wisata kami tidak tahu lokasinya.  Setelah beberapa saat saya melihat seorang pria yang sedang memancing di tepi laut.  Saya menghampirinya untuk menanyakan apakah ia mengetahui lokasi kuburan itu.  Pria itu namanya Narua dan ia adalah kepala suku Pelabuhan Resolution. Alangkah gembiranya saya karena ia mengetahui lokasi kuburan itu dan menawarkan untuk menunjukkannya kepada kami.

Setibanya di kuburan mereka, kami mengheningkan cipta sejenak, menghormati memori dan merenungkan pengorbanan besar yang telah dibayar oleh istri Paton demi membagikan Injil kepada orang-orang di Tanna.  Dalam perjalanan pulang saya menceritakan kepada Narua tentang satu mukjizat yang dialami John Paton di tahun 1800an sewaktu ia tinggal di pulau itu.

Pernah sekali, ada angin topan besar yang melanda pulau itu dan tanaman pisang penduduknya musnah semua.  Para kepala suku berkumpul dan memutuskan bahwa bencana itu didatangkan oleh Tuhan yang disembah Paton, dan menyimpulkan bahwa Paton harus dibunuh.  Mereka langsung berangkat dan mengelilingi rumah Paton untuk membunuhnya.  Paton yang sedang berada sendirian di dalam gubuknya berdoa kepada Tuhan meminta perlindungan.  Pada pagi harinya, setelah semalaman mengepung kediaman Paton, mereka berbaris meninggalkan tempat itu tanpa terjadi apa-apa.  Tidak lama setelah itu Paton bertanya kepada salah satu dari kepala suku di situ, “Mengapa kalian tidak membunuh saya pada malam itu?”  Kepala suku itu menjawab, “Kami tidak bisa.  Ada terlalu banyak laki-laki yang menghunus pedang dan mengawal rumahmu.” Padahal pada waktu itu Paton hanya seorang diri! Paton menjelaskan kepada kepala suku itu bahwa yang dilihat oleh mereka itu pasti adalah malaikat-malaikat yang diutus Tuhan untuk melindunginya.

Narua menanyakan kepada saya siapa kepala-kepala suku pada zaman Paton itu. Saya menyebut seorang imam besar bernama Nowar yang akhirnya menjadi teman baik Paton dan yang telah menyelamatkan nyawanya dalam beberapa peristiwa.  Mendengar jawaban saya, Narua langsung berlutut di depan saya dan membuat 5 lingkaran di pasir. Pemandu wisata dan penerjemah kami, Philemon, menjelaskan kepada saya, “Kakek Narua adalah cucu Nowar.” Saya terkejut melihat perkembangan situasi ini. Tanpa berpikir panjang saya berkata kepada Norua, “Saya akan kembali dalam waktu 2 tahun dan saya akan memberikan kepada Anda buku tentang kisah hidup John Paton.” (Setibanya di Kanada saya langsung mengirim buku tentang Paton kepada Philemon untuk diserahkan kepada Narua.)

Di Tanna, bahasa utama yang digunakan adalah Bislama.  Pada awalnya saya membeli sebuah Alkitab Bislama untuk mempelajari bahasa negeri itu. Terjemahan Alkitab Bislama baru rampung pada tahun 1997, 30 tahun setelah proyek itu dimulai oleh organisasi Wycliffe. Edisi pertama dicetak pada tahun 1998. Walaupun mayoritas penduduk Vanuatu adalah Kristen, tetapi kebanyakan dari mereka tidak memiliki Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Setelah saya pulang ke Kanada, saya terus memikirkan kerinduan orang-orang Kristen di Vanuatu untuk memiliki Alkitab.

Pada suatu hari sewaktu Abby dan saya berjalan-jalan, Abby menemukan uang koin 25 sen. Kami mendapat inspirasi untuk memulai dana pembelian Alkitab Bislama dengan uang 25 sen itu. Kami meminta agar Tuhan melipat gandakannya sama seperti Ia melipat gandakan ikan dan roti di dalam Alkitab. Tidak lama setelah itu, kami menerima sumbangan dari teman-teman dan orang-orang yang bermurah hati. Bahkan pemulung di tempat pembuangan sampah juga turut menyumbang uang hasil penjualan botol-botol. Akhirnya kami mempunyai $7000 dolar, cukup untuk membeli 705 buah Alkitab berbahasa Bislama.

Pada tanggal 28 September 2002, untuk pertama kalinya Alkitab dalam bahasa Bislama diberikan secara gratis kepada penduduk di sana. Alkitab yang pertama diserahkan kepada seorang pria tua yang kakinya pincang.  Setelah menerimanya ia melompat-lompat dengan penuh kegembiraan.  Banyak di antara penduduk di sana yang tidak pernah menyangka akan pernah memiliki Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.

Saya ingin memberikan sebuah Alkitab kepada Narua tetapi Philemon memberitahu saya bahwa Narua sudah meninggal dunia sebulan yang lalu. Saya langsung menanyakan tentang buku kiriman saya.  Philemon menceritakan kepada saya bagaimana anak Narua membacakan buku kesaksian John Paton kepadanya dan setelah mendengar kisah Paton, Narua berkata, “Saya harus menjadi seorang Kristen”, dan ia memberikan hidupnya kepada Yesus Kristus.

Setelah kunjungan kami yang ketiga pada tahun 2003 kami pulang ke Kanada dan mendirikan Bibles for the Poor Society (Lembaga Alkitab untuk kaum Miskin).  Fokus lembaga ini adalah untuk menjangkau kaum miskin di dunia dengan memberikan Pengharapan yang Kekal (Eternal Hope).

Hingga tahun 2004, sebanyak 1667 Alkitab sudah diberikan secara gratis kepada mereka yang membutuhkan di Vanuatu. Setelah kembali ke Kanada kami menerima surat dari seorang Pendeta tua bernama Silas. Ia adalah seorang pendeta dari pulau Tanna yang sudah pensiun setelah melayani selama 50 tahun. Ia mengabarkan bahwa penyebaran Alkitab dalam bahasa Bislama telah membawa banyak orang kembali kepada Kristus, dan oleh karena itu ia sekarang sangat sibuk melayani. 

Bayangkan, semuanya ini tidak akan terjadi jika 150 tahun yang lalu para misionaris tidak datang ke Vanuatu.  Mereka telah meninggalkan pusaka indah yang terus berbicara dari dalam liang kubur mereka.

 

 

 

 

 

 

 

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.

Sumber: cahayapengharapan.org

Leave a Comment