Puasa dari Mengkritik

Tuhan terus menangani saya tentang kebiasaan saya yang suka mengkritik. Ia menginsafkan saya bahwa adalah salah untuk saya menghakimi orang atau situasi.

Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Matius 7.1-2

Suatu pagi, Ia memberi saya satu tugas: untuk satu hari ini saya harus puasa dari kritikan. Saya tidak boleh mengkritik sesiapapun atau hal apa pun.

Pikiran saya mulai menimbulkan berbagai macam bantahan. ‘Tetapi bagaimana dengan penilaian. Engkau sendiri berbicara tentang “penilaian yang benar” (righteous judgment). Bagaimana suatu masyarakat dapat beroperasi tanpa standar dan batasan?’

Semua bantahan saya tidak ditanggapi. ‘Taatilah Aku tanpa banyak bertanya: suatu puasa yang mutlak dari semua pernyataan kritis untuk satu hari ini.’

Di saat saya merenungkan tugas ini saya melihat suatu sisi yang lucu. Apa yang ingin Tuhan tunjukkan kepada saya?

Buat beberapa jam yang pertama hari itu, saya merasa kosong, seolah-olah kepribadian saya terhapus. Hal ini benar-benar terasa waktu saya makan siang bersama keluarga dan sekretaris saya. Beberapa topik pembicaraan muncul, tentang praktek doa di sekolah, aborsi dan beberapa hal lain tentang amendmen undang-undang negara. Saya mempunyai opini yang sangat pasti tentang hal-hal tersebut. Saya mendengarkan diskusi di sekitar meja makan dan tidak memberikan komentar apa-apa. Beberapa komentar tajam tentang beberapa pemimpin dunia sudah ada di hujung lidah saya, tetapi saya mengurung niat saya untuk mengungkapkannya. Karena keluarga saya semuanya senang berbicara, tidak ada yang menyadari bahwa saya tidak seperti selalunya.

Saya melihat bahwa tidak ada yang merasa kehilangan karena saya tidak berkomentar. Pemerintahan, sistem perundangan dan institusi gereja kelihatannya baik-baik saja tanpa observasi saya yang tajam. Tetapi saya masih tidak melihat apa yang dapat dicapai dengan puasa dari mengkritik ini.

Tetapi di siang hari sesuatu mulai terjadi.

Untuk beberapa tahun saya telah berdoa untuk seorang anak muda yang sangat berbakat tetapi kehidupannya menjadi agak kacau belakangan. Mungkin doa saya baginya terlalu negatif. Di siang hari itu, satu visi yang khusus dan positif tentang hidupnya tiba-tiba diberikan kepada saya dari Tuhan. Saya tahu visi itu dari Tuhan karena ia datang bersamaan suatu tanda pasti yaitu sukacita.

Ide-ide mulai berdatangan, suatu hal yang belum pernah saya alami selama bertahun-tahun. Sangatlah jelas sekarang apa yang Tuhan ingin saya lihat. Sifat kritis saya tidak pernah dapat mengoreksi pelbagai hal yang saya lihat sebagai kurang beres. Tetapi hal yang telah terjadi adalah, sifat kritis saya telah menghambat kreativitas saya, apakah dalam hal berdoa, dalam relasi saya dan bahkan dalam tulisan saya. Sifat kritis saya telah membuat Tuhan tidak dapat menyampaikan kepada saya ide-ide dari-Nya.

Kelemahan karakter saya yang suka mengkritik ini tentu saja tidak dapat dikoreksi dengan begitu saja. Tetapi setelah merenungkan hal ini, utamanya membaca apa yang diajarkan oleh  Yesus dari Khotbah di Bukit, saya melihat bahwa Yesus begitu jelas meminta kita jangan memandang orang atau situasi dengan lensa yang negatif.

Apa yang Ia tunjukkan kepada saya dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Semangat yang kritis membuat kita fokus pada diri kita sendiri dan membuat kita tidak gembira. Kita kehilangan perspektif dan humor.
  2. Semangat yang kritis memblokir pikiran kreatif yang positif yang mau diberikan oleh Tuhan kepada kita.
  3. Semangat yang kritis bisa menghambat hubungan antar-pribadi dan seringkali membuat orang kritis terhadap kita juga.
  4. Sifat kritis menghambat pekerjaan Roh Kudus utamanya kasih, kebaikan dan kemurahan.
  5. Di saat kita melihat sesuatu yang benar-benar salah di dalam pribadi orang lain, jangan mengkritik secara langsung atau yang lebih parah, mengeluh tentang orang itu kepada orang lain. Yang perlu kita lakukan adalah meminta Roh Allah untuk berkarya.

Setelah diinsafkan oleh efek kebinasaan dari pemikiran yang kritis, saya berlutut dan mendoakan doa ini: ‘Tuhan, saya bertobat dari dosa menghakimi ini. Saya minta maaf karena selama ini secara terus menerus saya telah melakukan suatu perlanggaran yang begitu besar terhadap Engkau dan diri saya sendiri. Saya mengklaim pengampunan dari Engkau dan meminta untuk diberikan suatu kesempatan yang baru.’

(Catherine Marshall adalah penulis Kristen yang terkenal di Amerika. Artikel di atas dikutip dari catatan hariannya.)

 

 

 

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
Saya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
Dan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
Saya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
Saya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.

Sumber: cahayapengharapan.org

Leave a Comment